Translate

Oleh-oleh sarasehan "Pendidikan Berdasarkan Kebudayaan dan Penerapannya di Lingkungan rumah, sekolah dan Masyarakat"

oleh Sekolah Alam Tangerang Full pada 02 November 2010 jam 6:26

Pagi ini saya bangun pagi dan siap meluncur ke daerah Palmerah. Bismillah saya berangkat bersama sahabat saya bunda Uyun. Di tangan saya sudah siap secarik kertas undangan sarasehan pendidikan. Tertulis judul “Pendidikan Berdasarkan Kebudayaan dan Penerapannya di Lingkungan rumah, sekolah dan Masyarakat” Pembicaranya. Profesor Doktor Daoed Yoesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era presiden Soeharto.

Saat sampai di Gedung Kompas Gramedia, di Jalan Palmerah Selatan, kami berdua langsung naik lift ke lt 7, tempat Sarasehan berlangsung. Sampai di lantai 7, kami di sambut hangat oleh Ibu Melly Kiong (penulis buku : Siapa Bilang Ibu Bekerja Tidak Bisa Mendidik Anak dengan Baik). Sebelumnya Ibu Melly sudah mengenal Ibu Tik (Kepala Sekolah SAT), dan mengajak ibu Tik untuk bisa hadir dalam sarasehan ini. Alhamdulillah kami bertiga (Asih, Uyun dan Lies) di beri kesempatan untuk belajar dalam Sarasehan ini (Terimakasih ya bunda tik….I love u )

Sarasehan di mulai dengan penampilan dua anak down syndrome (yang laki-laki memainkan keyboard dan yang perempuan menarikan tarian betawi). Subhanallah… saya jadi malu, mereka yang memiliki keterbatasan memiliki rasa percaya diri yang luar biasa. Setelah itu acara di lanjutkan dengan semangat Sumpah Pemuda dengan menyanyikan lagu “Bangun Pemudi Pemuda” (walau di bait kedua saya rada-rada lupa, untuknya bareng-bareng jadi nggak begitu kelihatan J).

Di tempat duduk saya, mata saya mencari, dimana bapak Profesor (karena belum pernah lihat wajah beliau). Ternyata beliau duduk satu baris di depan saya. Beliau menggunakan pakaian yang sederhana khas seorang pendidik. Beliau datang bersama istri beliau. Beliau sangat bangga saat memuji istrinya “wanita tercantik di SMA di jogja (saat itu)” Dalam batin saya, saya berdo’a semoga saya bisa merasakan masa tua bersama suami saya tercinta (Amin).

Diawal pembicaraan, beliau bercerita tentang kebangsaan, tentang pembentukan Indonesia sampai membahas masalah arti dari “jadilah pandu” dalam lagu Indonesia raya.

Setelah pulang saya coba searching “Who Is Daoed Joesoef?” dan saya mendapatkannya di Wikipedia :

Daoed Joesoef (lahir di Medan, Sumatera Utara, 8 Agustus 1926; umur 84 tahun) adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia dari 1978 sampai 1983 dalam Kabinet Pembangunan III. Ia dilahirkan dari pasangan Moehammad Joesoef dan Siti Jasiah, menikah dengan Sri Sulastri dan dikaruniai anak Sri Sulaksmi Damayanti.

Daoed Joesoef adalah salah seorang tokoh yang ikut mendirikan CSIS (Centre for Strategic and International Studies), sebuah tangki pemikir yang banyak dimanfaatkan sumbangannya oleh pemerintahan Orde Baru. Ia mendapatkan dua gelar Doktor (PhD.) dari universitas Sorbonne, Perancis, di bidang ekonomi.[rujukan?]

Dalam kehidupan sehari-harinya, Daoed Joesoef mempunyai kegemaran melukis.

Kontroversi

Pada masa jabatannya sebagai menteri, Daoed Joesoef terkenal karena kebijakanya memperkenalkan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang intinya dimaksudkan untuk membersihkan kampus dari kegiatan-kegiatan berpolitik. Menurut Joesoef, kegiatan politik hanya boleh dilakukan di luar kampus, sementara tugas utama mahasiswa adalah belajar. Dengan kebijakannya ini, Joesoef menghapuskan Dewan Mahasiswa di universitas-universitas di seluruh Indonesia dan praktis melumpuhkan kegiatan politik mahasiswa.

Joesoef juga terkenal karena mengeluarkan keputusan yang melarang liburan pada masa bulan puasa.

Tapi saya tidak akan membahas kontroversi ini, saya akan membahas cerita yang tadi di sampaikan oleh beliau tentang pendidikan. Saya hanya mengambil kebaikan yang bermanfaat bagi saya pribadi hari ini. Beliau menyampaikan bahwa keberhasilan pendidikan bisa diibaratnya dengan tepukan tangan, dimana satu bagian menentukan keberhasilan bagian lain. Siapa kah dua tangan itu? Mereka adalah ibu dan guru (dengan tidak mengenyampingka peran ayah lho).

Beliau bercerita tentang peran “emaknya” dalam kehidupan beliau yang beliau ceritakan dalam buku berjudul “emak” (lagi di baca nih, belum selesai). Beliau menyampaikan bahwa seharusnya peran ibu dirumah bukan hanya menekankan pada aspek akademis, tetapi lebih kepada penyiapan seorang anak untuk menghadapi dunianya. Seperti bagaimana membiasakan anak untuk tertib, berfikir runut, dan memiliki rasa sayang.

Emak beliau memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan beliau. Walau emak beliau tidak sekolah, tapi emak beliaulah yeng menanamkan nilai-nilai. Beliau bercerita apa yang emak beliau lakukan (bisa jadi inspirasi mendidik anak)

Seorang ibu harus berperan yang pertama yaitu membangkitkan kesadaran. Beliau menceritakan bagaimana emak beliau selalu memberi perhatian kepada beliau dengan selalu menanyakan aktifitas keseharian beliau. Tanyalah kepada anak, mengapa ia melakukan sesuatu, misalnya kenapa anak ingin pergi ke mall, kenapa memilih mall ini, dll. Galilah sebanyak-banyaknya tentang apa yang dilakukan oleh anak, klasifikasikan, implementasikan dalam kehidupan dan komunikasikan dengan baik kepada anak sebagai sebuah nilai yang berarti

Saya jadi kangen dengan ibu saya…. (semoga Allah memberikan tempat yang terbaik)

Yang kedua beliau menyampaikan bahwa peran seorang ibu di rumah adalah membiasakan membaca. Beliau bercerita tentang kegemaran beliau membaca. Beliau membaca buku-buku di perpustakaan sekolah, sampai sudah tidak ada buku yang tidak beliau baca. Akhirnya mak beliau memberikan uang saku 1 sen untuk menyewa buku-buku di tempat penyewaan buku (pastinya bukan buku komik dong). Dari membaca buku inilah beliau termotifasi untuk belajar bahasa Belanda. Dan yang membuat saya kagum adalah peran emak beliau, dimana bukan hanya menyuruh anaknya membaca, tapi Emak beliau yang buta huruf itu selalu bertanya buku apa yang sedang engkau baca dan apa isinya?

Yang ketiga adalah biasakan mendengarkan pendapat orang lain. Emak beliau selalu menjadi pendengar yang baik, tanpa komentar negative, walau itu salah. Gaya berkomunikasi yang baik inilah yang dirasakan memberikan kenyamanan ketika sedang di nasihati. “Kau harus berlaku seperti sungai. Ingat yang pernah emak katakana , walaupun ia terus mengalir mencapai tujuannya, ia tidak pernah memutuskan diri dan setia pada sumbernya” (Dikutip dari buku Emak Hal 87)

Pembicaraan beliau di tutup dengan sekali lagi memuji istri beliau, “seharusnya istri saya yang menjadi mendikbud, karena ia yang sudah sukses mendidik anak saya”

Setelah ceramah beliau selesai, dibukalah sesi tanya jawab. Pertanyaannya beragam, dari mulai peran orang tua, guru, kurikulum sampai mahalnya biaya sekolah. Beliau juga menjelaskan tentang beberapa kebijakan yang menjadi kontroversial. Tentang tahun ajaran yang sebelumnya bulan Desember, tetapi di rubah menjadi Juli (sepertinya ini yang kemarin kita diskusikan ya bu tik?). Beliau menyampaikan, di luar negeri sebagian besar tahun ajaran di mulai Juli. Jika kita tetap menggunakan bulan Desember sebagai awal tahun ajaran maka, ada jeda waktu 6 bulan untuk seseorang yang ingin sekolah atau kuliah di luar negeri.

Selanjutnya beliau juga bercerita tentang penghapusan libur di bulan puasa). Perubahan-perubahan waktu di bulan ramadhan sangat merepotkan dalam pembuatan program. Lagi pula puasa, kan bukan hanya untuk tidur. Kita bisa menggunakannya untuk menambah ilmu.

Saya tertarik dengan seorang ibu yang curhat tentang anaknya yang berprestasi tidak bisa masuk universitas impiannya (Universitas Indonesia). Orang tua si anak sudah menyadari bahwa ia tidak memiliki uang untuk menguliahkan anak di UI, karena amat mahal biaya pendidikan di UI. Tapi anak si ibu ini tetap yakin. Ia meyakini bahwa ketika ia berprestasi, itulah kunci bisa kuliah di UI. Ia berusaha menjadi siswa berprestsi sejak kelas 1 SMA. Tetapi setelah tiga kali mencoba tes masuk UI, tetap si anak ini gagal. Ibunya mengira-ngira bahwa tidak diterimanya anak ini karena uang.

Daud Yusuf menanggapi cerita ibu ini dengan mengatakan. Kita tidak cukup menyiapkan anak memiliki prestasi yang hebat. Tetapi hal yang paling penting adalah menyiapkan anak untuk bisa mandiri. Beliau menyampaikan kata-kata bapak beliau, sesaat sebelum beliau merantau. “Jadilah seperti Elang, terbang yang tinggi walau sendiri” Artinya kita juga harus menyiapkan anak untuk bisa berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri.

Walau lelah saya merasakan senang sekali, bisa mendapatkan cerita pengalaman beliau tentang kehangatan keluarga dan yang terpenting adalah peran ibu sebagai penanam tata nilai.

Waktu menunjukkan jam 22.48 WIB, saya udah ngantuk… semoga tulisan ini bisa menjadi penyemangat kita untuk menjadi orang tua terbaik bagi anak-anak kita.

(Ambil yang bermanfaat, jauhkan yang membawa mudharat)

Wallahu’alam

Tangerang, 31 Juli 2010

Link:http://www.facebook.com/note.php?note_id=457448675687

Tidak ada komentar: