Translate

MENGKRITISI ANGGARAN PENDIDIKAN NASIONAL
oleh. Indra Setiawan, S.Pd.

Kebijakan yang sangat patut untuk disyukuri oleh dunia pendidikan di negeri ini sejak bergulirnya reformasi adalah tercapainya keinginan darai amanat reformasi agar anggaran pendidikan sebesar 20% dari seluruh anggaran belanja negara. Ini seharusnya bisa memberikan dampak positif bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Bukan hanya dalam urusan pengembangan kurikulum saja, akan tetapi juga memberikan efek yang lebih luas dari sekedar pelaksanaan dan penerapan teori-teori pendidikan dengan segala tetek bengeknya. Yang jiga tak kalah pentingnya adalah bagaimana penentu kebijakan di dunia pendidikan ini dapat melahirkan sebuah kebijakan pendidikan yang bersifat universal dan integral.

Berdasarkan data olahan dengan merujuk dari Departemen Keuangan RI, APBN 2005 sampai dengan RAPBN 2010, perkembangan alokasi dan rasio terhadap APBN adalah sebagai berikut :

APBN

Alokasi

Rasio

2005

33,40 triliun

8,1 %

2006

44,11 triliun

10,1 %

2007

53,07 triliun

10,5 %

2008

158,52 triliun

18,5 %

2009

207,41 triliun

20,0 %

2010

209,54 triliun

20,0 %


Sejak reformasi digulirkan tahun 1998, suara-suara yang menginginkan peningkatan anggaran APBN untuk pendidikan semakin santer terdengar di media massa, di antaranya dengan unjuk rasa di jalanan. Hal ini tidak dapat dihindari mengingat pada saat itu, Indonesia sangat tertinggal oleh negeri jiran Malaysia yang pada era 70-an masih ‘mengimpor’ tenaga pendidik dari negara kita. Ironis memang, ketika dua dekade kemudian kita yang berbalik 180 derajat berondong-bondong menimba ilmu ke sana. Akhirnya tuntutan para pemerhati pendidikan pun semakin nyaring meminta tambahan anggaran pendidikan yang selama Orde Baru tidak lebih dari angka 10% dari APBN, bandingkan dengan Malaysia yang sejak merdeka tidak pernah kurang dari 20% APBN-ny, diantaranya guna membayar guru dan dosen dari Indonesia pada waktu itu.Ternyata salah satu tuntutan reformasi tersebut tidak direspon positif oleh Kabinet Reformasi pascareformasi, justru sebaliknya, anggaran pendidikan dipotong habis-habisan. Jika era sebelumnya mencapai 9,3% dan terakhir 8%, pada masa Kabinet Reformasi tersebut, angka yang dialokasikan hanya3,8% (APBN 2001). Alasannya prioritas harus diletakkan pada pengadaan prasarana, seperti penyediaan listrik, pelabuhan, dan sebagainya. Mereka tak mau menerima pandangan yang menyatakan bahwa investasi terbaik adalah dalam peningkatan kemampuan SDM dan jalan utamanya adalah pendidikan. (Sumber)Apa akibat kebijakan yang keliru terhadap proses pendidikan nasional tersebut?Menurut laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada tanggal 29 November 2007 menunjukkan peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 dari 130 negara di seluruh dunia. Indikasinya, Education Development Index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965). (Sumber).

Bagaimana dengan alokasi anggaran pendidikan era presiden sekarang?























Kalau dilihat sepintas, peningkatan anggaran pendidikan di atas cukup mencengangkan, terjadi kenaikan rasio yang sangat signifikan. Lalu apakah kenaikan alokasi dana tersebut berbanding lurus dengan kualitas pendidikan sekarang?

Menurut Jusuf Kalla seperti yang dilansir apakabar.ws, dilihat dari peringkat negara, kualitas pendidikan Indonesia berada di urutan ke-160 dunia dan urutan ke-16 di Asia. Bahkan secara rata-rata, Indonesia masih berada di bawah Vietnam, apalagi jiak dibandingkan dengan Malaysia atau Singapura.(Sumber)

Fakta bahwa peningkatan anggaran APBN tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan warganya.

Kembali kepada tuntutan masyarakat yang berunjuk rasa meminta alokasi pos dana pendidikan tadi, sungguh memprihatinkan ketika pemerintah merespon tuntutan itu dengan menggelontorkan ratusan triliun rupiah, ternyata tidak didukung dengan kesiapan yang baik oleh pihak terkait dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional. Apakah mereka terlena dan terkagum-kagum dengan gelontoran dana yang selama ini tidak pernah diterimanya?

Dalam pemberitaan televisi, setiap menjelang atau sesudah pelaksanaan Ujian Nasional, masyarakat dihebohkan dengan berita-berita miris mengenai peserta didik yang stress, depresi hebat, dan bahkan bunuh diri setelah hasil perjuangannya menimba ilmu selama di sekolah sia-sia hanya karena tidak lulus ujian. Penghargaan siswa-siswa dan pendidik-pendidik berprestasi juga dianggap belum maksimal, seringnya kontingen Indonesia mendapat gelar juara umum nyatanya tidak direspon dengan penghargaan yang setimpal. Yang belakangan santer diberitakan adalah masalah pembocoran soal atau penyebaran kunci jawaban UN kepada peserta ujian dengan alasan tidak mau sekolahnya berpredikat buruk.Ngerinya lagi, para siswa yang tugasnya belajar, ternyata sering terlibat tawuran antar sekolah, bahkan banyak yang berujung maut.

Itulah sebagian contoh nyata tentang belum berhasilnya sistem pendidikan Indonesia, meskipun anggaran dananya sudah mencapai 20% dari APBN.

Pertanyaan mendasar sekarang adalah apa yang harus dilakukan pihak-pihak terkait terutama para praktisi pendidikan nasional guna mendongkrak kualitas dan prestasi pendidikan kita, minimal di wilayah Asia Tenggara dulu?

Sekian dan terima kasih, semoga bermanfaat.


Tidak ada komentar: